W.S. RENDRA

turut berdukacita

atas wafat-nya
budayawan~
W.S. RENDRA
(maestro-teater-Indonesia)

Jumat, 13 Juli 2012

KATA-KATA ber-KATA

Pasukan 100 domba yang dipimpin  seekor singa,
lebih menakutkan,
daripada pasukan singa yang dipimpin seekor domba.
_________________________________________________
(Charles Maurice de Talleyrand -- 1754-1838 -- Diplomat asal Perancis)

sumber;
koran~Seputar-Indonesia. Kamis, 12 Juli 2012. hlm. 1

Senin, 25 Juni 2012

Sabtu, 20 Maret 2010

cerpenis--Agus-Noor

Agus-Noor -- berprofesi sebagai cerpenis produktif, penulis-lakon, sutradara, yang tanggal 25 Maret 2010 ini akan me-launch-ing buku kumpulan cerpen terbarunya di TIM Jakarta ...........

Minggu, 06 September 2009

cerpen--Bambang JP

Pisau Hati di Urat Leher

Percayakah kamu, kematian sedekat urat leher? Pasti tak terbayangkan dalam benakmu. Tetapi itulah yang terjadi padaku. Pada suatu waktu, di sebuah malam yang awalnya kubayangkan akan menjadi teramat merekah. Ternyata berubah mencekam penuh dendam. Semuanya hanya bermula dari sebuah kata. Lalu beranak pinak menjadi cerca yang mengkoyak. Kusebut begitu karena tak lagi kami simpan nafsu sendiri. Semuanya lalu mengalir mengikuti arus begitu deras, menjadi gelombang, beriak mengikuti tikungan tajam menuruni cekungan curam. Jeram yang semakin menindas batu-batu yang mulanya diam. Lalu meronta dan berteriak memecah suara.
Tak ada yang mampu mengendalikan keharusan alam. Seperti langit dipenuhi padatan partikel panas tampungan mendung. Sedang tanah berdiam diri menyimpan keangkuhan semata. Maka ketika keduanya saling menelikung jadilah puting beliung, belum yang pasti akan memporak-poranda semuanya. Demikian juga tabungan cinta itu telah pecah berubah menjadi Rubah yang mencuri buah setiap malam singgah.
Semuanya tumpah dalam caci maki tak henti. Retakan-retakan kecil yang setia kutambal dengan kesabaran. Kini telah menjadi celah yang membobol semua kanal. Kita tak lagi kuasa menghentikan amarah. Sekata demi sekata seolah bernyawa dan menggandeng kalimat-kalimat selama ini kita buang di dasar lubuk. Pasti aroma busuk menusuk karena sudah begitu lama terinjak-injak di bak sampah agar tak nampak. Sepasang tamak yang bersembunyi dibalik semak bulu-bulu Merak.
Melewati perjalanan birahi atas nama keluarga. Benih yang telah ditabur berbuah dan disemai dengan indah. Meski berakir sia-sia. Kalah. Dalam termangu aku pun seringkali mengingatmu. Meski aku berpaling tapi bukan ini sebenarnya yang kumau. Kematian itu terasa begitu dekat tak berjarak. Membayangi dan terus berada dalam kecemasan diri. Untuk menghindari sungguh aku ta mampu. Ia menjelma dalam urat nadi, berbaur dalam detakan darah. Meski hanya sepisau itu kau tempelkan dileherku. Tak berbekas sedikitpun dikulitku yang kau tahu teramat sangat peka. Dan aku pun tahu pasti kau pun tak akan mampu menembuskan diruasan leherku. Melihat darah pun kau tak sanggub. Seperti dua kelahiran kualami tidak sekalipun kau menunggui. Juga beberapa kali tanganku berdarah teriris pisau dapur, serta merta kau hanya bisa berteriak-teriak untuk segera membungkusnya. Mungkin aku lebih laki-laki darimu. Apalagi soal darah yang mau tidak mau, harus kurawat dengan baik. Perempuan setakut apapun harus mau membiasakan melihat darahnya sendiri.
Akupun tak bergeming ketika ujung pisau yang runcing tajam itu terasa dingin menempel dileherku. Namun kedinginan yang beku itu bisa kurasakan getaran dingin hatimu. Kau pun pasti bisa melakukan malam itu. Hatimu telah beku. Matamu tajam memandangku, bukan lagi melihat seorang perempuan yang pada waktu tertentu sangat tak berdaya. Bukan karena tenaganya yang sedikit. Atau hatinya yang gundah. Tetapi jiwanya yang selalu menimbang baik dan buruk. Benar atau salah. Pantas atau tidak pantas. Pada saat seperti itulah kendali hatinya menjadi pengatur yang sangat teratur, menentukan. Dan akupun terkapar terlempar tak sabar ingin berujar bahwa akupun tak memiliki keberanian melawanmu, kecuali tersedu menahan kelu. Memilih berlari menjauh. Sejauh mungkin bisa kulampaui. Itulah kelemahanku. Menghindar.
Agar cepat sampai ke tujuan akhir, sempatkanlah berkunjung ke titik awal dan memulainya kembali, semuanya akan menjadi lebih jelas. Mengapa kita memulai dan melangkah dan dimana tujuan akan di akhiri. Tetapi bukan disini mak, kita baru akan mulai dan belajar melangkah, begitu katamu merayu.
Telah disusunnya waktu demikian berarti, menjadi lembaran gairah muda yang merdeka. Seperti tak ada gelap singgah mengganti cahaya. Selain menuliskan langit penuh bintang-bintang juga harapan untuk hari depan. Anak muda yang menggoreskan sejarahnya diatas kepingan kemunafikan dan kebusukan warisan purba. Juga gelombang yang gemulai menarikan dunia penuh pesona. Anak muda apa yang kau cari tak henti semalaman ini. Begitulah kita memulainya ketika masih muda dan mencoba membangun sebuah impian yang kita sebut sebagai: keluarga.
Pulanglah seketika malam ini juga. Sebelum segalanya berubah. Hari yang berganti. Dan rindu itu berubah menjadi dendam. Maka tak harus kupahamkan kepadamu. Segala kecemasanku telah membungkam mulutku. Dan perasaan takut itu menyita segenap hatiku. Aku tak kuat melawannya apa lagi mengalahkannya. Kecuali berlari menghindar tak tahu lagi yang harus dilakukan. Tanganmu begitu kokoh kutahu itu. Sedang matamu menyimpan magma merah. Sewaktu pasti meledak berbuncah entah menjadi apa.
Rumput liar dan hati yang terbakar pasti akan menjalar kemanapun akar kusimpan. Karena nalar tak lagi bisa berkata benar. Aku menghormatimu seperti aku menghargai diriku sendiri. Aku menyayangimu seluruh keluargamu. Seperti aku menjaga diriku sendiri dan menjaga semuanya. Maka, biarlah masalalu yang telah kering itu terbakar. Berpisah hanyalah cara, bukan tujuan sebenarnya. Mungkin dengan begitu kita semuanya akan menjadi merasa benar.
***
Bumi ibu ladang bapak benih anak, berputar dilingkaran waktu yang bisu. Pagi lelap hanyut membisu. memandang tiga bocah meniduri mimpi sunyi, lelaki satu pergi sendiri. Mereka renda sendiri kenyataan menjadi harapan. Pagi nanti semua akan kembali seperti matahari. Bersinar memanas lalu tenggelam tak berbekas kecuali menjadi pasti. Hidup atau mati hanyalah kesempatan bukan pilihan. Berarti ketika mampu memberi isi. Kembali jika telah terpenuhi. Meski begitu aku tak lagi mau mengulang seperti malam itu. Sebuah pisau kau tempelkan di urat leherku.
Aku percaya kematian itu sedekat kedipan mata. Urat leher pun terlalu jauh. Tidak hari ini atau esok. Seketikapun jadilah kehendak-Nya pasti nyata. Maka akupun tak ingin akhir hayat itu kau renggut begitu saja olehmu. Aku cemas kepada kematianku bukan karena pisau yang seolah kau jelmakan menjadi malaikan penjabut nyawa. Sejujurnya akupun ingin melupakan peristiwa malam itu, yang kemudian terulang dimalam-malam beikutnya. Segal maaf pasti kulimpahkan. Tetapi seperti magnet yang terlalu kuat merekat, traumanya begitu dekat tak berjarak. Mengusik setiap mata terpejam.
Wajahmu terbayang, tidakkah engkau seperti dahulu, serumpun menganyam rindu meski bukan lagi satu. Kadang bertemu kala jemu menumpuk pilu. Lagumu merdu semalaman mendayu. Kutitip salam pada anaku yang pagi ini melaju menepukmu. Menapaki jejak dari puing berbatu tanpa ragu. Mengais sejarah terpahat waktu agar tak lagi ada seteru moyangku. Wajahmu terbayang agar bisa kukenang keabadian itu. Tidak cukupkah anak-anak kita bagi dua. Tak ada yang kuminta selain itu. Tapi itupun tak kau mau. Apalagi yang kupunya selain tersisa keberanian untuk menempuh hidup dalam kesunyian. Itu pilihanku.
Jika Meva, benih pertamamu yang telah kusemai indah di rahimku, sesekali menjengukmu bertemu. Melunaskan segala janji, pertemuan langit dan warna biru. Persinggahan rembulan dengan malam langit hitam. Keakraban dingin dipucuk gunung bersama kabut. Percintaan pagi lelehan embun. Maka biarkanlah ia tumbuh menjadi dirinya, bukan sebagai kita. Bertemu sesekali saling berbagi rindu. Tanpa harus meratapi masalalu sebagai pilu. Biarlah kutitip sujudku dengan segala pintu maaf padamu, bahwa telah kurenggut mimpi kami sendiri. Sekalipun jangan perlakukannya sebagai aku yang telah mendustaimu. Apalagi kesetiaan yang teramat sakral terjaga sampai nanti.
Janganlah kau ajak kembali merekatkan retakan patahan yang terlanjur terbelah. Sakitnya pasti akan terulang. Sewaktu-waktu tanpa kita tahu meradang pulang. Seperti luka kambuhan menjadi derita yang tersengaja. Lalu perang. Untuk apa itu semua? Sekedar memenuhi kata-kata orang tua? Atau kau ingin menjaga agar seolah semuanya tertata? Bukankah sudah cukup kita jalani hidup penuh tipu daya. Seolah bahagia tapi tak kau ketahui untuk apa bahagia, kecuali sia-sia. Maka jadilah laki-laki, yang berani hidup sendiri. Meniduri mimpi tak peduli kata hati. Begitulah pilihanku sebelum nanti aku mati. Lantaran kau tempelkan kembali pisau di urat leherku dengan geram yang membabi. Atau waktu memang sudah pasti memanggil untuk kembali.
Terkadang perpisahan bersebrangan jurang dan tebing yang merentang menjadikan kita lebih bijak bertindak. Memandang dari keremangan, mendengar dari sayup-sayup. Terasa merdu seperti kecipak buih menciumi bibir pantai. Sdang gelombang pasang meninggi dan menghantam laut sungguh teramat menakutkan. Seperti badai yang kini berada dalam rongga dadaku. Berkecamuk tak henti menepi. Memuntahkan kesumat tak tahu diri. Dinding kesabaranku memang telah rapuh, disodok berkali-kali oleh sakit hati. Meski iklas selalu menepi diruang suci. Berlabuh diantara dermaga rasa.
Percayalah bukan karena lelaki lain, aku lari mengunci diri, tak mau berbagi. Sebab sudah kau tebas setunas demi tunas meretas. Tidak ada yang terlepas, kecuali daun-daun layu, batang yang kosong kering kerontang, pelepah telah punah. Hatiku pun mati. Mugkin kau salah menyirmnya. Lebih suka merawat keluargamu yang terpercaya lebih dari istri. Senang memupuk rindu pada masalalumu. Juga perempuan-perempuanmu diwaktu dulu. Penuh pesona dan keagungan cinta, tanpa peduli sekukupun nyaliku yang terkelupas. Tapi bukan bermaksud menyalahkan atau mencari keburukan padamu. Sama sekali tidak. Akupun ikut andil membangun tumpukan keangkuhan itu. Senyatanya pun ketidak pedulianku padamu adalah terlalu berserah percaya sepenuhnya padamu. Dan tersadari dikemudian hari ternyata itu kepingan bunuh diri.
Bunuh diri yang kunikmati dengan indah lagi mesra. Karena begitu dekat hati terkapar seperti pisau yang kau tempelkan di urat leher. Pelan-pelan lagi pasti membunuh hatiku agar selalu tetap bisa mengasihimu. ***

Cawas Klaten 2009
Minggu Pagi V – 2009/www.kr.co.id/mp/

Minggu, 10 Mei 2009

cerpen--Rukman-Rosadi

SENGSU
oleh; Rukman-Rosadi



MATANYA yang berwarna mendung, tampak merem-melek dengan irama yang tidak seimbang. Sering kali terdengar bunyi berkecipak, seperti suara seekor ikan meloncat dari mulutnya.

"Hmmm, enak juga", gumamnya.

Sekilas ada kilatan aneh di dua baris matanya, jika sempat menangkap! Apalagi saat lelaki paruh baya itu menggigit dengan alot daging lidah santapannya, daging anjing. Tongseng anjing, atau tongseng-asu--sengsu. Begitu orang-orang menyamarkannya dengan menyebutnya tongseng kijang balap. Sebagian yang lain memberi istilah B1 untuk daging anjing, B2 untuk daging babi.

B1 adalah menu istimewa lelaki itu. Aneh, cara lelaki itu makan. Sangat bersemangat, bahkan terlalu bernafsu. Sebenarnya lebih tampak seperti orang kerasukan, seperti para aktor kuda lumping yang makan beling atau ayam hidup. Tapi, ada satu hal yang lebih spesifik--kebencian. Ia mengunyah dengan kebencian yang kuat. Bukan mengunyah tapi lebih tepat melumat dan menghancurkan. Kebencian yang besar telah memberinya energi yang kuat. Maka dengan gigi gerahamnya yang nyaris habis karena digerogoti kemiskinan, ia mampu melumat, bahkan daging seekor anjing tua yang sudah alot. Sulit untuk menganggap bahwa dia sedang menikmati makan dan bukan kerasukan.

Entah sejak kapan lelaki yang hidup sendirian di pinggiran kali itu, begitu gemar menyantap anjing. Gubugnya yang disusun dari kardus dan plastik bekas, bertiang bambu dan kayu yang hanyut terbawa air, mungkin bisa bercerita. Pada dinding kardus di seputar ruangan 2 x 2 meter itu bergelantungan benda kecil bulat, panjang berbulu. Ada yang berbulu lebat panjang, ada yang sangat pendek. Bulu-bulu itu sendiri dari banyak warna, sebagian darinya masih tampak menempel darah kering dan sebagian yang lain masih tampak merah basah. Ekor-ekor anjing yang telah disantapnya. Kalau dihitung mungkin berjumlah 50 sampai 60 potongan ekor anjing. Dengan jumlah itu tetap saja sulit menduga sejak kapan anjing-anjing malang itu masuk ke perutnya. Yang jelas, lelaki perokok klembak menyan yang dipanggil Sumar Kalong itu selalu menyimpan bulu ekor anjing korbannya yang entah ia sambar dari mana.

"Bukan yang paling enak, karena daging kalong lebih enak", kata Sumar suatu kali, "Tapi anjing tidak tergantikan untuk ditukar dengan kebahagiaan yang tidak pernah berpihak padaku".

Salman mengerutkan dahi, jelas sulit memasukkan jawaban itu ke nalarnya.

"Anjing adalah pelampiasan, bukan dagingnya, bukan darahnya, bukan pula ekor dan harga-harga yang mahal."

Salman tak bereaksi, hanya matanya makin memicing dan kerutannya makin dalam. Salman tahu koleksi ekor anjing Sumar, dan dia tahu Sumar tak mungkin membeli anjing-anjing itu. Ia cuma mampu beli setengah kilo beras dari puntung rokok yang dikumpulkannya. Tapi sungguh, dia tak paham maksud Sumar. Alasan-alasannya yang mengambil resiko tinggi, sebab pencuri anjing pun sering kali mati dibakar massa yang juga butuh pelampiasan dalam menghadapi persoalan hidupnya. Sumar memilih tidak peduli.

Suatu kali di depan gubugnya, di seberang jalan, di halaman rumah besar yang pagar tingginya dibuat renggang, tampak seperti sengaja memamerkan keelokan, kemewahan, dan kemampuan penghuninya pada Sumar, seorang perempuan muda cantik turun dari mobil up to date-nya yang harganya selangit. Di dadanya ia membopong seekor anjing pudel yang lucu tapi tampak tolol.

"Anjing!" dengus Sumar, kali ini lebih keras. Salman jelas menangkap kegeraman sekeras batu dan kilatan mata yang mungkin ditunggangi kebencian, iri dan dengki atau entah apa lah. Salman cuma menduga karena ia bukan lulusan psikologi yang konon lebih pintar membaca orang.

"Anjing...", desah Sumar, desahan yang lebih mirip helaan panjang dari perasaan yang tertahan. Perempuan di seberang jalan menghilang di balik pintu jatinya yang berukir burung merak. Sumar menggembungkan rahang, Salman menunggu adegan berikutnya. Gonggongan anjing pudel dan dalmatian berseliweran antara Salman, kesunyian dan Sumar yang mematung kemarahan Destarata bertiwikrama.

"Aku tahu nama anjing-anjing itu", ucap Sumar membuka sepi. "Browni, anjing kecil berbulu cokelat lebat itu sering dipanggilnya. Yang besar dan berwarna totol-totol hitam putih seperti mimpiku bernama Jack. Ha ha ha! Nama mereka seperti nama orang-orang bule di tv, anjing!!!"

Ia mengumpat anjing-anjing itu dengan anjing juga. Kegemaran Sumar selalu menggila bila dia melihat Browni digendong perempuan cantik itu, apalagi melihat bibir penuh perempuan itu disorongkan menciumi moncong Browni dan Jack.

"Asu! Anjing-anjing itu lebih beruntung dari hidupku", katanya. "Ingin aku jadi mereka, mendusel hangat di antara belahan dada majikannya yang ranum. Menjilati hidung dan lehernya yang putih jenjang. Mengendus aroma wangi yang membangkitkan gairah. Mengusap-usap paha dan betis belalangnya di tempat tidur yang empuk, anjing! Asu! Kirik!" Sumar mengumpat-umpat.

"Binatang itu mudah sekali hidupnya, makan enak, tidur nyaman, naik BMW, dielus, diciumi, bahkan berkalung emas, dan aku cuma berkalung daki!" Dada Sumar naik turun dengan cepat, mungkin napasnya berkejaran di dalam.

Salman mencoba bicara dengan hati-hati.
"Tapi Mar, mereka toh tetap saja anjing, seekor binatang yang tak bisa berpikir" kata Salman.

"Man! Seumur hidupku aku berpikir, berpikir! dengan sangat keras! Tapi yang kudapat tidak lebih dari harga seekor anjing kampung yang tua dan sakit-sakitan", timpal Sumar dengan sewot.

Banyak yang ingin disampaikan Salman tapi dia terlalu bosan untuk bicara kepada orang berhati sempit yang keras kepala. Sementara bagi Sumar, Salman adalah orang menjengkelkan yang sok bijaksana.

Sumar protes, entah kepada siapa. Kenapa nasibnya tidak lebih baik dari seekor anjing. Kenapa namanya bahkan lebih tidak menarik ketimbang Browni dan Jack yang cuma anjing. Kenapa perempuan simpanan itu berumah mewah dan dia cuma sendirian di gubug kardus yang berbau anyir kali. Ia protes. Protes, entah kepada siapa.

Suatu hari, kebencian, amarah, dendam, dan entah perasaan apa lagi, memuncak ke ubun-ubunnya. Membakar hatinya yang juga miskin. Mendorongnya untuk menculik Browni dan Jack. Segala bumbu tongseng dan pisau tajam cap garpu disiapkan untuk pesta perayaan dendam. Dengan tulang kambing berisi apotas untuk meracuni, Jack dan Browni telah berpindah ke wajan Sumar. Tak ada lagi nama Jack dan Browni. Di atas wajan Sumar, mereka cuma bernama Sengsu. Maka, malam itu Sumar berpesta. Tak ada makanan lain selain sengsu. Dia menyantap tuntas dua ekor anjing rumahan yang mahal dengan kerakusan seekor anjing liar yang kerasukan.

Usai berpesta ia lelap dalam mimpi, mimpi hitam putih tanpa warna, begitu selalu ceritanya. Sumar-Kalong menyangka bahwa kerjanya rapi tak akan terendus siapa pun. Semua operasi perburuannya selama ini dianggapnya aman-aman saja. Dia tidak tahu, bahwa warga perumahan elite di seberang jalan sudah menaruh curiga. Orang miskin macam Sumar memang lebih mudah dijatuhi kecurigaan di antara orang orang kaya.

Pagi hari, Sumar masih terlelap dalam mimpi hitam putihnya. Seorang perempuan seksi berwajah telenovela menghampirinya malam itu. Parasnya secantik aktris-aktris Bay Watch. Tubuhnya seseksi model-model cover tabloid murahan negeri ini. Perempuan itu mendekatinya, tersenyum manis, menggoda. Semakin dekat, senyumnya berubah menyeringai, parasnya yang cantik mulai tampak mengerikan. Bibir seksinya tumbuh memanjang membentuk moncong. Bulu-bulu lebat menyembul di sekujur tubuhnya.

"Anjing! Sialan!!" Sumar mengumpat di antara ketakutannya sendiri. Tiba-tiba mulut itu membuka, dan "gugh! gugh! gugh!" sebuah gonggongan keras dibarengi suara dobrakan pintu membangunkannya dari tidur. Di pintu gubug, telah berdiri dengan seringai tajam seekor anjing herder yang terlatih. Di belakangnya tiga orang polisi yang tak kalah sangar dibanding herder menodongkan pistolnya. Rupanya si pemilik Browni dan Jack sepakat bersama warga lain yang telah kehilangan anjingnya untuk menangkap si maling anjing. Tiga orang polisi dan seekor herder berhasil mengendusnya. Sumar tak mampu mengelak dan berdalih. Koleksi ekor-ekor anjingnya adalah bukti yang tak terelakkan. Ia ditangkap. Beruntung, ia hanya menerima beberapa pukulan dari warga yang tak bisa menahan emosi. Untung seragam-seragam dinas polisi itu masih mampu membuat mereka tidak main polisi (hakim) sendiri.

Sumar digelandang ke sel yang aromanya tak jauh beda dengan sengatan bau kali.
"Anjing! Lagi-lagi anjing!" desisnya berkali-kali.

Esok harinya, Salman membesuknya sambil membawakan setengah bungkus rokok kretek. Salman sengaja tidak mau berbicara. Ia cuma menyodorkan rokok dan menunggu. Sebaris senyum pun tak tergores di mulut Sumar. Ucapan terima kasih mengalir datar. Rokok kretek diisapnya seperti menyedot racun ular. Digembungkan di kedua pipinya yang berbentuk persegi dan bersisa bumbu sengsu. Dilepaskannya asap kretek seperti melepas seluruh hidupnya.

"Anjing, Man. Lagi-lagi anjing!"
Diulangnya kalimat itu berkali-kali.

"Bahkan, kematian seekor anjing pun telah mengirimku ke ruangan ini."
Salman cuma mendengarkan.

"Bahkan seekor anjing kampung kecil yang dulu kupelihara dengan baik, telah menyebabkan rumahku terbakar habis. Api besar itu cuma menyisakan onggokan mayat mengerikan -- anak dan istriku",
setitik air mata menyembul di ujung mata Sumar.

Salman diam termangu, ia menarik napasnya.

"Anjing", desis Sumar diseling runtuhnya air mata ke lantai sel yang dingin.

Mereka berdua terjebak dalam diam yang lama. Cuma asap yang bersahut-sahutan dari mulut Sumar dan Salman. Sampai suara gonggongan keras seekor anjing mengagetkan keduanya.

Wajah Sumar tiba-tiba berubah beku. Ia menengok ke arah asal suara. Herder, seekor anjing gembala Jerman yang telah berhasil membongkar pencuriannya dan sempat menggigit tangannya. Wajahnya yang beku menggembung seperti induk kobra yang terganggu tidurnya. Matanya menyorot keras dan giginya gemeletakan.

"Anjing!!"
Sumar
membentak keras.

Namun, segera saja bentakannya dibalas dengan bentakan seorang polisi piket yang kaget. "Anjing, diam! jangan teriak-teriak!"
Sumar terpaksa surut.

Salman pamit pulang. Sumar menyambar tangannya dan mendekatkan mulutnya ke telinga Salman.
"Tolong bawakan aku tongseng anjing herder pak polisi itu", bisiknya.

Salman menatap mata merah Sumar, tak bereaksi, berlalu meninggalkan Sumar yang tertawa dan menggonggong bersahutan dengan herder dan bentakan polisi piket.

Krapyak Wetan, 2002

dimuat di Media Indonesia 09/08/2002
telah disimak 748 kali

____________________________________________________________________
(sumber; Rossa-Rosadi)