W.S. RENDRA

turut berdukacita

atas wafat-nya
budayawan~
W.S. RENDRA
(maestro-teater-Indonesia)

Minggu, 10 Mei 2009

cerpen--Rukman-Rosadi

SENGSU
oleh; Rukman-Rosadi



MATANYA yang berwarna mendung, tampak merem-melek dengan irama yang tidak seimbang. Sering kali terdengar bunyi berkecipak, seperti suara seekor ikan meloncat dari mulutnya.

"Hmmm, enak juga", gumamnya.

Sekilas ada kilatan aneh di dua baris matanya, jika sempat menangkap! Apalagi saat lelaki paruh baya itu menggigit dengan alot daging lidah santapannya, daging anjing. Tongseng anjing, atau tongseng-asu--sengsu. Begitu orang-orang menyamarkannya dengan menyebutnya tongseng kijang balap. Sebagian yang lain memberi istilah B1 untuk daging anjing, B2 untuk daging babi.

B1 adalah menu istimewa lelaki itu. Aneh, cara lelaki itu makan. Sangat bersemangat, bahkan terlalu bernafsu. Sebenarnya lebih tampak seperti orang kerasukan, seperti para aktor kuda lumping yang makan beling atau ayam hidup. Tapi, ada satu hal yang lebih spesifik--kebencian. Ia mengunyah dengan kebencian yang kuat. Bukan mengunyah tapi lebih tepat melumat dan menghancurkan. Kebencian yang besar telah memberinya energi yang kuat. Maka dengan gigi gerahamnya yang nyaris habis karena digerogoti kemiskinan, ia mampu melumat, bahkan daging seekor anjing tua yang sudah alot. Sulit untuk menganggap bahwa dia sedang menikmati makan dan bukan kerasukan.

Entah sejak kapan lelaki yang hidup sendirian di pinggiran kali itu, begitu gemar menyantap anjing. Gubugnya yang disusun dari kardus dan plastik bekas, bertiang bambu dan kayu yang hanyut terbawa air, mungkin bisa bercerita. Pada dinding kardus di seputar ruangan 2 x 2 meter itu bergelantungan benda kecil bulat, panjang berbulu. Ada yang berbulu lebat panjang, ada yang sangat pendek. Bulu-bulu itu sendiri dari banyak warna, sebagian darinya masih tampak menempel darah kering dan sebagian yang lain masih tampak merah basah. Ekor-ekor anjing yang telah disantapnya. Kalau dihitung mungkin berjumlah 50 sampai 60 potongan ekor anjing. Dengan jumlah itu tetap saja sulit menduga sejak kapan anjing-anjing malang itu masuk ke perutnya. Yang jelas, lelaki perokok klembak menyan yang dipanggil Sumar Kalong itu selalu menyimpan bulu ekor anjing korbannya yang entah ia sambar dari mana.

"Bukan yang paling enak, karena daging kalong lebih enak", kata Sumar suatu kali, "Tapi anjing tidak tergantikan untuk ditukar dengan kebahagiaan yang tidak pernah berpihak padaku".

Salman mengerutkan dahi, jelas sulit memasukkan jawaban itu ke nalarnya.

"Anjing adalah pelampiasan, bukan dagingnya, bukan darahnya, bukan pula ekor dan harga-harga yang mahal."

Salman tak bereaksi, hanya matanya makin memicing dan kerutannya makin dalam. Salman tahu koleksi ekor anjing Sumar, dan dia tahu Sumar tak mungkin membeli anjing-anjing itu. Ia cuma mampu beli setengah kilo beras dari puntung rokok yang dikumpulkannya. Tapi sungguh, dia tak paham maksud Sumar. Alasan-alasannya yang mengambil resiko tinggi, sebab pencuri anjing pun sering kali mati dibakar massa yang juga butuh pelampiasan dalam menghadapi persoalan hidupnya. Sumar memilih tidak peduli.

Suatu kali di depan gubugnya, di seberang jalan, di halaman rumah besar yang pagar tingginya dibuat renggang, tampak seperti sengaja memamerkan keelokan, kemewahan, dan kemampuan penghuninya pada Sumar, seorang perempuan muda cantik turun dari mobil up to date-nya yang harganya selangit. Di dadanya ia membopong seekor anjing pudel yang lucu tapi tampak tolol.

"Anjing!" dengus Sumar, kali ini lebih keras. Salman jelas menangkap kegeraman sekeras batu dan kilatan mata yang mungkin ditunggangi kebencian, iri dan dengki atau entah apa lah. Salman cuma menduga karena ia bukan lulusan psikologi yang konon lebih pintar membaca orang.

"Anjing...", desah Sumar, desahan yang lebih mirip helaan panjang dari perasaan yang tertahan. Perempuan di seberang jalan menghilang di balik pintu jatinya yang berukir burung merak. Sumar menggembungkan rahang, Salman menunggu adegan berikutnya. Gonggongan anjing pudel dan dalmatian berseliweran antara Salman, kesunyian dan Sumar yang mematung kemarahan Destarata bertiwikrama.

"Aku tahu nama anjing-anjing itu", ucap Sumar membuka sepi. "Browni, anjing kecil berbulu cokelat lebat itu sering dipanggilnya. Yang besar dan berwarna totol-totol hitam putih seperti mimpiku bernama Jack. Ha ha ha! Nama mereka seperti nama orang-orang bule di tv, anjing!!!"

Ia mengumpat anjing-anjing itu dengan anjing juga. Kegemaran Sumar selalu menggila bila dia melihat Browni digendong perempuan cantik itu, apalagi melihat bibir penuh perempuan itu disorongkan menciumi moncong Browni dan Jack.

"Asu! Anjing-anjing itu lebih beruntung dari hidupku", katanya. "Ingin aku jadi mereka, mendusel hangat di antara belahan dada majikannya yang ranum. Menjilati hidung dan lehernya yang putih jenjang. Mengendus aroma wangi yang membangkitkan gairah. Mengusap-usap paha dan betis belalangnya di tempat tidur yang empuk, anjing! Asu! Kirik!" Sumar mengumpat-umpat.

"Binatang itu mudah sekali hidupnya, makan enak, tidur nyaman, naik BMW, dielus, diciumi, bahkan berkalung emas, dan aku cuma berkalung daki!" Dada Sumar naik turun dengan cepat, mungkin napasnya berkejaran di dalam.

Salman mencoba bicara dengan hati-hati.
"Tapi Mar, mereka toh tetap saja anjing, seekor binatang yang tak bisa berpikir" kata Salman.

"Man! Seumur hidupku aku berpikir, berpikir! dengan sangat keras! Tapi yang kudapat tidak lebih dari harga seekor anjing kampung yang tua dan sakit-sakitan", timpal Sumar dengan sewot.

Banyak yang ingin disampaikan Salman tapi dia terlalu bosan untuk bicara kepada orang berhati sempit yang keras kepala. Sementara bagi Sumar, Salman adalah orang menjengkelkan yang sok bijaksana.

Sumar protes, entah kepada siapa. Kenapa nasibnya tidak lebih baik dari seekor anjing. Kenapa namanya bahkan lebih tidak menarik ketimbang Browni dan Jack yang cuma anjing. Kenapa perempuan simpanan itu berumah mewah dan dia cuma sendirian di gubug kardus yang berbau anyir kali. Ia protes. Protes, entah kepada siapa.

Suatu hari, kebencian, amarah, dendam, dan entah perasaan apa lagi, memuncak ke ubun-ubunnya. Membakar hatinya yang juga miskin. Mendorongnya untuk menculik Browni dan Jack. Segala bumbu tongseng dan pisau tajam cap garpu disiapkan untuk pesta perayaan dendam. Dengan tulang kambing berisi apotas untuk meracuni, Jack dan Browni telah berpindah ke wajan Sumar. Tak ada lagi nama Jack dan Browni. Di atas wajan Sumar, mereka cuma bernama Sengsu. Maka, malam itu Sumar berpesta. Tak ada makanan lain selain sengsu. Dia menyantap tuntas dua ekor anjing rumahan yang mahal dengan kerakusan seekor anjing liar yang kerasukan.

Usai berpesta ia lelap dalam mimpi, mimpi hitam putih tanpa warna, begitu selalu ceritanya. Sumar-Kalong menyangka bahwa kerjanya rapi tak akan terendus siapa pun. Semua operasi perburuannya selama ini dianggapnya aman-aman saja. Dia tidak tahu, bahwa warga perumahan elite di seberang jalan sudah menaruh curiga. Orang miskin macam Sumar memang lebih mudah dijatuhi kecurigaan di antara orang orang kaya.

Pagi hari, Sumar masih terlelap dalam mimpi hitam putihnya. Seorang perempuan seksi berwajah telenovela menghampirinya malam itu. Parasnya secantik aktris-aktris Bay Watch. Tubuhnya seseksi model-model cover tabloid murahan negeri ini. Perempuan itu mendekatinya, tersenyum manis, menggoda. Semakin dekat, senyumnya berubah menyeringai, parasnya yang cantik mulai tampak mengerikan. Bibir seksinya tumbuh memanjang membentuk moncong. Bulu-bulu lebat menyembul di sekujur tubuhnya.

"Anjing! Sialan!!" Sumar mengumpat di antara ketakutannya sendiri. Tiba-tiba mulut itu membuka, dan "gugh! gugh! gugh!" sebuah gonggongan keras dibarengi suara dobrakan pintu membangunkannya dari tidur. Di pintu gubug, telah berdiri dengan seringai tajam seekor anjing herder yang terlatih. Di belakangnya tiga orang polisi yang tak kalah sangar dibanding herder menodongkan pistolnya. Rupanya si pemilik Browni dan Jack sepakat bersama warga lain yang telah kehilangan anjingnya untuk menangkap si maling anjing. Tiga orang polisi dan seekor herder berhasil mengendusnya. Sumar tak mampu mengelak dan berdalih. Koleksi ekor-ekor anjingnya adalah bukti yang tak terelakkan. Ia ditangkap. Beruntung, ia hanya menerima beberapa pukulan dari warga yang tak bisa menahan emosi. Untung seragam-seragam dinas polisi itu masih mampu membuat mereka tidak main polisi (hakim) sendiri.

Sumar digelandang ke sel yang aromanya tak jauh beda dengan sengatan bau kali.
"Anjing! Lagi-lagi anjing!" desisnya berkali-kali.

Esok harinya, Salman membesuknya sambil membawakan setengah bungkus rokok kretek. Salman sengaja tidak mau berbicara. Ia cuma menyodorkan rokok dan menunggu. Sebaris senyum pun tak tergores di mulut Sumar. Ucapan terima kasih mengalir datar. Rokok kretek diisapnya seperti menyedot racun ular. Digembungkan di kedua pipinya yang berbentuk persegi dan bersisa bumbu sengsu. Dilepaskannya asap kretek seperti melepas seluruh hidupnya.

"Anjing, Man. Lagi-lagi anjing!"
Diulangnya kalimat itu berkali-kali.

"Bahkan, kematian seekor anjing pun telah mengirimku ke ruangan ini."
Salman cuma mendengarkan.

"Bahkan seekor anjing kampung kecil yang dulu kupelihara dengan baik, telah menyebabkan rumahku terbakar habis. Api besar itu cuma menyisakan onggokan mayat mengerikan -- anak dan istriku",
setitik air mata menyembul di ujung mata Sumar.

Salman diam termangu, ia menarik napasnya.

"Anjing", desis Sumar diseling runtuhnya air mata ke lantai sel yang dingin.

Mereka berdua terjebak dalam diam yang lama. Cuma asap yang bersahut-sahutan dari mulut Sumar dan Salman. Sampai suara gonggongan keras seekor anjing mengagetkan keduanya.

Wajah Sumar tiba-tiba berubah beku. Ia menengok ke arah asal suara. Herder, seekor anjing gembala Jerman yang telah berhasil membongkar pencuriannya dan sempat menggigit tangannya. Wajahnya yang beku menggembung seperti induk kobra yang terganggu tidurnya. Matanya menyorot keras dan giginya gemeletakan.

"Anjing!!"
Sumar
membentak keras.

Namun, segera saja bentakannya dibalas dengan bentakan seorang polisi piket yang kaget. "Anjing, diam! jangan teriak-teriak!"
Sumar terpaksa surut.

Salman pamit pulang. Sumar menyambar tangannya dan mendekatkan mulutnya ke telinga Salman.
"Tolong bawakan aku tongseng anjing herder pak polisi itu", bisiknya.

Salman menatap mata merah Sumar, tak bereaksi, berlalu meninggalkan Sumar yang tertawa dan menggonggong bersahutan dengan herder dan bentakan polisi piket.

Krapyak Wetan, 2002

dimuat di Media Indonesia 09/08/2002
telah disimak 748 kali

____________________________________________________________________
(sumber; Rossa-Rosadi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar