W.S. RENDRA

turut berdukacita

atas wafat-nya
budayawan~
W.S. RENDRA
(maestro-teater-Indonesia)

Minggu, 06 September 2009

cerpen--Bambang JP

Pisau Hati di Urat Leher

Percayakah kamu, kematian sedekat urat leher? Pasti tak terbayangkan dalam benakmu. Tetapi itulah yang terjadi padaku. Pada suatu waktu, di sebuah malam yang awalnya kubayangkan akan menjadi teramat merekah. Ternyata berubah mencekam penuh dendam. Semuanya hanya bermula dari sebuah kata. Lalu beranak pinak menjadi cerca yang mengkoyak. Kusebut begitu karena tak lagi kami simpan nafsu sendiri. Semuanya lalu mengalir mengikuti arus begitu deras, menjadi gelombang, beriak mengikuti tikungan tajam menuruni cekungan curam. Jeram yang semakin menindas batu-batu yang mulanya diam. Lalu meronta dan berteriak memecah suara.
Tak ada yang mampu mengendalikan keharusan alam. Seperti langit dipenuhi padatan partikel panas tampungan mendung. Sedang tanah berdiam diri menyimpan keangkuhan semata. Maka ketika keduanya saling menelikung jadilah puting beliung, belum yang pasti akan memporak-poranda semuanya. Demikian juga tabungan cinta itu telah pecah berubah menjadi Rubah yang mencuri buah setiap malam singgah.
Semuanya tumpah dalam caci maki tak henti. Retakan-retakan kecil yang setia kutambal dengan kesabaran. Kini telah menjadi celah yang membobol semua kanal. Kita tak lagi kuasa menghentikan amarah. Sekata demi sekata seolah bernyawa dan menggandeng kalimat-kalimat selama ini kita buang di dasar lubuk. Pasti aroma busuk menusuk karena sudah begitu lama terinjak-injak di bak sampah agar tak nampak. Sepasang tamak yang bersembunyi dibalik semak bulu-bulu Merak.
Melewati perjalanan birahi atas nama keluarga. Benih yang telah ditabur berbuah dan disemai dengan indah. Meski berakir sia-sia. Kalah. Dalam termangu aku pun seringkali mengingatmu. Meski aku berpaling tapi bukan ini sebenarnya yang kumau. Kematian itu terasa begitu dekat tak berjarak. Membayangi dan terus berada dalam kecemasan diri. Untuk menghindari sungguh aku ta mampu. Ia menjelma dalam urat nadi, berbaur dalam detakan darah. Meski hanya sepisau itu kau tempelkan dileherku. Tak berbekas sedikitpun dikulitku yang kau tahu teramat sangat peka. Dan aku pun tahu pasti kau pun tak akan mampu menembuskan diruasan leherku. Melihat darah pun kau tak sanggub. Seperti dua kelahiran kualami tidak sekalipun kau menunggui. Juga beberapa kali tanganku berdarah teriris pisau dapur, serta merta kau hanya bisa berteriak-teriak untuk segera membungkusnya. Mungkin aku lebih laki-laki darimu. Apalagi soal darah yang mau tidak mau, harus kurawat dengan baik. Perempuan setakut apapun harus mau membiasakan melihat darahnya sendiri.
Akupun tak bergeming ketika ujung pisau yang runcing tajam itu terasa dingin menempel dileherku. Namun kedinginan yang beku itu bisa kurasakan getaran dingin hatimu. Kau pun pasti bisa melakukan malam itu. Hatimu telah beku. Matamu tajam memandangku, bukan lagi melihat seorang perempuan yang pada waktu tertentu sangat tak berdaya. Bukan karena tenaganya yang sedikit. Atau hatinya yang gundah. Tetapi jiwanya yang selalu menimbang baik dan buruk. Benar atau salah. Pantas atau tidak pantas. Pada saat seperti itulah kendali hatinya menjadi pengatur yang sangat teratur, menentukan. Dan akupun terkapar terlempar tak sabar ingin berujar bahwa akupun tak memiliki keberanian melawanmu, kecuali tersedu menahan kelu. Memilih berlari menjauh. Sejauh mungkin bisa kulampaui. Itulah kelemahanku. Menghindar.
Agar cepat sampai ke tujuan akhir, sempatkanlah berkunjung ke titik awal dan memulainya kembali, semuanya akan menjadi lebih jelas. Mengapa kita memulai dan melangkah dan dimana tujuan akan di akhiri. Tetapi bukan disini mak, kita baru akan mulai dan belajar melangkah, begitu katamu merayu.
Telah disusunnya waktu demikian berarti, menjadi lembaran gairah muda yang merdeka. Seperti tak ada gelap singgah mengganti cahaya. Selain menuliskan langit penuh bintang-bintang juga harapan untuk hari depan. Anak muda yang menggoreskan sejarahnya diatas kepingan kemunafikan dan kebusukan warisan purba. Juga gelombang yang gemulai menarikan dunia penuh pesona. Anak muda apa yang kau cari tak henti semalaman ini. Begitulah kita memulainya ketika masih muda dan mencoba membangun sebuah impian yang kita sebut sebagai: keluarga.
Pulanglah seketika malam ini juga. Sebelum segalanya berubah. Hari yang berganti. Dan rindu itu berubah menjadi dendam. Maka tak harus kupahamkan kepadamu. Segala kecemasanku telah membungkam mulutku. Dan perasaan takut itu menyita segenap hatiku. Aku tak kuat melawannya apa lagi mengalahkannya. Kecuali berlari menghindar tak tahu lagi yang harus dilakukan. Tanganmu begitu kokoh kutahu itu. Sedang matamu menyimpan magma merah. Sewaktu pasti meledak berbuncah entah menjadi apa.
Rumput liar dan hati yang terbakar pasti akan menjalar kemanapun akar kusimpan. Karena nalar tak lagi bisa berkata benar. Aku menghormatimu seperti aku menghargai diriku sendiri. Aku menyayangimu seluruh keluargamu. Seperti aku menjaga diriku sendiri dan menjaga semuanya. Maka, biarlah masalalu yang telah kering itu terbakar. Berpisah hanyalah cara, bukan tujuan sebenarnya. Mungkin dengan begitu kita semuanya akan menjadi merasa benar.
***
Bumi ibu ladang bapak benih anak, berputar dilingkaran waktu yang bisu. Pagi lelap hanyut membisu. memandang tiga bocah meniduri mimpi sunyi, lelaki satu pergi sendiri. Mereka renda sendiri kenyataan menjadi harapan. Pagi nanti semua akan kembali seperti matahari. Bersinar memanas lalu tenggelam tak berbekas kecuali menjadi pasti. Hidup atau mati hanyalah kesempatan bukan pilihan. Berarti ketika mampu memberi isi. Kembali jika telah terpenuhi. Meski begitu aku tak lagi mau mengulang seperti malam itu. Sebuah pisau kau tempelkan di urat leherku.
Aku percaya kematian itu sedekat kedipan mata. Urat leher pun terlalu jauh. Tidak hari ini atau esok. Seketikapun jadilah kehendak-Nya pasti nyata. Maka akupun tak ingin akhir hayat itu kau renggut begitu saja olehmu. Aku cemas kepada kematianku bukan karena pisau yang seolah kau jelmakan menjadi malaikan penjabut nyawa. Sejujurnya akupun ingin melupakan peristiwa malam itu, yang kemudian terulang dimalam-malam beikutnya. Segal maaf pasti kulimpahkan. Tetapi seperti magnet yang terlalu kuat merekat, traumanya begitu dekat tak berjarak. Mengusik setiap mata terpejam.
Wajahmu terbayang, tidakkah engkau seperti dahulu, serumpun menganyam rindu meski bukan lagi satu. Kadang bertemu kala jemu menumpuk pilu. Lagumu merdu semalaman mendayu. Kutitip salam pada anaku yang pagi ini melaju menepukmu. Menapaki jejak dari puing berbatu tanpa ragu. Mengais sejarah terpahat waktu agar tak lagi ada seteru moyangku. Wajahmu terbayang agar bisa kukenang keabadian itu. Tidak cukupkah anak-anak kita bagi dua. Tak ada yang kuminta selain itu. Tapi itupun tak kau mau. Apalagi yang kupunya selain tersisa keberanian untuk menempuh hidup dalam kesunyian. Itu pilihanku.
Jika Meva, benih pertamamu yang telah kusemai indah di rahimku, sesekali menjengukmu bertemu. Melunaskan segala janji, pertemuan langit dan warna biru. Persinggahan rembulan dengan malam langit hitam. Keakraban dingin dipucuk gunung bersama kabut. Percintaan pagi lelehan embun. Maka biarkanlah ia tumbuh menjadi dirinya, bukan sebagai kita. Bertemu sesekali saling berbagi rindu. Tanpa harus meratapi masalalu sebagai pilu. Biarlah kutitip sujudku dengan segala pintu maaf padamu, bahwa telah kurenggut mimpi kami sendiri. Sekalipun jangan perlakukannya sebagai aku yang telah mendustaimu. Apalagi kesetiaan yang teramat sakral terjaga sampai nanti.
Janganlah kau ajak kembali merekatkan retakan patahan yang terlanjur terbelah. Sakitnya pasti akan terulang. Sewaktu-waktu tanpa kita tahu meradang pulang. Seperti luka kambuhan menjadi derita yang tersengaja. Lalu perang. Untuk apa itu semua? Sekedar memenuhi kata-kata orang tua? Atau kau ingin menjaga agar seolah semuanya tertata? Bukankah sudah cukup kita jalani hidup penuh tipu daya. Seolah bahagia tapi tak kau ketahui untuk apa bahagia, kecuali sia-sia. Maka jadilah laki-laki, yang berani hidup sendiri. Meniduri mimpi tak peduli kata hati. Begitulah pilihanku sebelum nanti aku mati. Lantaran kau tempelkan kembali pisau di urat leherku dengan geram yang membabi. Atau waktu memang sudah pasti memanggil untuk kembali.
Terkadang perpisahan bersebrangan jurang dan tebing yang merentang menjadikan kita lebih bijak bertindak. Memandang dari keremangan, mendengar dari sayup-sayup. Terasa merdu seperti kecipak buih menciumi bibir pantai. Sdang gelombang pasang meninggi dan menghantam laut sungguh teramat menakutkan. Seperti badai yang kini berada dalam rongga dadaku. Berkecamuk tak henti menepi. Memuntahkan kesumat tak tahu diri. Dinding kesabaranku memang telah rapuh, disodok berkali-kali oleh sakit hati. Meski iklas selalu menepi diruang suci. Berlabuh diantara dermaga rasa.
Percayalah bukan karena lelaki lain, aku lari mengunci diri, tak mau berbagi. Sebab sudah kau tebas setunas demi tunas meretas. Tidak ada yang terlepas, kecuali daun-daun layu, batang yang kosong kering kerontang, pelepah telah punah. Hatiku pun mati. Mugkin kau salah menyirmnya. Lebih suka merawat keluargamu yang terpercaya lebih dari istri. Senang memupuk rindu pada masalalumu. Juga perempuan-perempuanmu diwaktu dulu. Penuh pesona dan keagungan cinta, tanpa peduli sekukupun nyaliku yang terkelupas. Tapi bukan bermaksud menyalahkan atau mencari keburukan padamu. Sama sekali tidak. Akupun ikut andil membangun tumpukan keangkuhan itu. Senyatanya pun ketidak pedulianku padamu adalah terlalu berserah percaya sepenuhnya padamu. Dan tersadari dikemudian hari ternyata itu kepingan bunuh diri.
Bunuh diri yang kunikmati dengan indah lagi mesra. Karena begitu dekat hati terkapar seperti pisau yang kau tempelkan di urat leher. Pelan-pelan lagi pasti membunuh hatiku agar selalu tetap bisa mengasihimu. ***

Cawas Klaten 2009
Minggu Pagi V – 2009/www.kr.co.id/mp/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar